Jumat, 17 April 2020
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI): Sejarah, Tujuan, dan Anggota
Indonesia tergabung dalam berbagai organisasi internasional. Salah satunya organisasi internasional tertua yakni Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
OKI adalah organisasi internasional terbesar kedua setelah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Bagaimana OKI awalnya berdiri dan bertahan hingga kini?
Berikut sejarah OKI dan perkembangannya seperti dikutip dari situs resmi OKI dan situs Kementerian Luar Negeri:
Berdirinya OKI
Pembentukan OKI awalnya dilatarbelakangi keprihatinan negara-negara Islam atas berbagai masalah yang diahadapi umat Islam.
Salah satu pemicunya, pembakaran Masjid Suci Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969 oleh zionis Israel.
Para pemimpin dari 24 negara Islam pun mengadakan Konferensi di Rabat, Maroko, pada tanggal 25 September 1969.
Negara-negara itu menyepakati Deklarasi Rabat. Deklarasi itu berbunyi:
"Pemerintahan muslim akan berupaya mempromosikan di antara mereka, kerja sama yang erat, dan tolong menolong dalam hal ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, keyakinan, berdasarkan ajaran Islam yang abadi."
Tujuan dibentuknya OKI
Kemudian pada 1970, para menteri luar negeri berkumpul di Jeddah. Pertemuan yang kelak menjadi Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI itu menetapkan Jeddah sebagai markas OKI.
Piagam OKI baru diadopsi pada KTM OKI ketiga pada 1972. Piagam itu memuat tujuan dan prinsip OKI.
Tujuan OKI dibentuk antara lain:
-Meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota
-Mengoordinasikan kerja sama antarnegara anggota
-Mendukung perdamaian dan keamanan internasional
-Melindungi tempat-tempat suci Islam
-Membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Anggota OKI
Di awal terbentuknya, OKI hanya beranggotakan 30 negara. Selama 40 tahun berdiri, jumlah anggotanya terus bertambah.
OKI saat ini beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas muslim di kawasan Asia dan Afrika.
Hingga 2020, anggotanya OKI yakni:
1. Azerbaijan
2. Yordania
3. Afganistan
4. Albania
5. Uni Emirat Arab
6. Indonesia
7. Uzbekistan
8. Uganda
9. Iran
10. Pakistan
11. Bahrain
12. Brunei Darussalam
13. Bangladesh
14. Benin
15. Burkina Faso
16. Tajikistan
17. Turki
18. Turkmenistan
19. Chad
20. Togo
21. Tunisia
22. Algeria
23. Djibouti
24. Arab Saudi
25. Senegal
26. Sudan
27. Suriah
28. Suriname
29. Sierra Leone
30. Somalia
31. Irak
32. Oman
33. Gabon
34. Gambia
35. Guyana
36. Guini
37. Guini Bissau
38. Palestina
39. Komoros
40. Kyrgyzstan
41. Qatar
42. Kazakhstan
43. Kamerun
44. Pantai Gading
45. Kuwait
46. Lebanon
47. Libya
48. Maladewa
49. Mali
50. Malaysia
51. Mesir
52. Maroko
53. Mauritania
54. Mozambik
55. Niger
56. Nigeria
57. Yaman
Sumber : KOMPAS.com
51 Tahun Peristiwa Pembakaran Masjid Al-Aqsha
Saat itu hari Kamis 21 Agustus 1969. Tiba-tiba asap hitam mengepul dari sisi tenggara Masjid Al-Aqsha, dan seteleh diperiksa lebih dekat terlihat kobaran api besar di salah satu sisinya. Muslim dan Kristen sama-sama bergegas ke masjid untuk memadamkan api, tetapi pasukan keamanan zionis mencegah masuknya mereka.
Hanna Hassan mengisahkan dalam tulisannya di middleeastmonitor.com. Truk-truk pemadam kebakaran dari kota-kota sekitar Tepi Barat Nablus, Ramallah, Al-Bireh, Bethlehem, Hebron, Jenin, dan Tulkarem tiba untuk memadamkan api. Tapi pasukan Zionis juga mencegah mereka mencapai tempat kejadian, dengan mengklaim bahwa adalah tanggung jawab Kotamadya Yerusalem untuk menangani masalah tersebut. Situasi ini membuat api menyala selama berjam-jam hingga membakar bagian jendela tepat di bawah kubah, sebelum api akhirnya padam.
Saat asap itu hilang, tingkat kerusakannya diketahui. Api telah menyapu beberapa bagian tertua masjid, terutama menghancurkan mimbar kayu dan gading berusia 900 tahun yang dihadiahkan oleh Salahuddin Al-Ayubi, serta panel mosaik di dinding dan langit-langit; banyak area di dalam masjid yang hangus terbakar.
Kemudian berita tentang kebakaran Masjid Al-Aqsha menyebar, demonstrasi rakyat Palestina terjadi di seluruh sudut kota. Pihak Zionis membalas dengan menutup semua titik akses ke masjid, sehingga shalat Jumat keesokan harinya tidak diadakan di kompleks untuk pertama kalinya.
Seorang tersangka segera diidentifikasi; Dennis Michael Rohan, seorang turis Kristen Australia, yang ditangkap pada 23 Agustus. Rohan tidak takut mengungkapkan motifnya untuk kejahatan; sebagai “utusan Tuhan”, dia ingin mempercepat kedatangan Yesus yang kedua Kristus yang, dalam pandangannya, hanya dapat dicapai dengan membiarkan orang-orang Yahudi membangun sebuah kuil di tempat Masjid Al-Aqsa, di mana diklaim bahwa Kuil Sulaiman awalnya berdiri.
Sementara Rohan dinyatakan gila dan dirawat di rumah sakit jiwa, banyak kalangan ragu tentang dia menjadi satu-satunya pelakunya. Pada tanggal 28 Agustus, 24 negara mayoritas Muslim mengajukan keluhan kepada Dewan Keamanan PBB.
PBB sempat menanggapi dengan mengutuk serangan itu dan meminta ‘Israel’ membatalkan semua pengaturan yang akan mengubah status Al-Quds. ‘Israel’ mengabaikan resolusi ini, seperti yang telah dilakukan Zionis terus mencaplok Al-Quds, bahkan hingga kini.
Kecurigaan bahwa ‘Israel’ terlibat aktif dalam perencanaan dan memfasilitasi upaya pembakaran tidak pernah dibantah. Banyak juga yang melihat normalisasi intimidasi Zionis, termasuk upaya ‘Israel’ untuk menghapuskan warisan Palestina di wilayah tersebut.
Sumber : Hidayatullah.com
Jumat, 10 April 2020
Sejarah Sultan Abdul Hamid II
Assalamu'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh yup kali ini saya akan membahas sejarah Sultan Abdul Hamid II beliau merupakan salah satu khalifah yang berjaya di dunia Islam dan beliau pun dijuluki sebagai "Singa Terakhir Ummat Islam"
Mari kita langsung saja pembahasannya
“Aku (Sultan Abdul Hamid II) tidak menyalahkan siapapun (kemunduran Utsmani). Akan tetapi kami mengetahui bahwa Inggris, Perancis dan Rusia hingga Jerman dan Swiss, maksudnya negara-negara besar Eropa, memperoleh kepentingan dengan membagi-bagi wilayah pemerintahan Utsmani dan mencerai-beraikannya.”
Abdul Hamid II adalah salah satu nama sultan besar yang pernah dimiliki Kesultanan Utsmani. Jika di masa awal kejayaan Utsmani ada nama-nama seperti Sultan Muhammad Al-Fatih dan Sultan Sulaiman Al-Qanuni, maka di akhir kemunduran Kesultanan Utsmani, Abdul Hamid II menjadi sultan besar terakhir. Sebab, setelahnya tak ada lagi sultan yang disegani.
Abdul Hamid II lahir pada tanggal 21 September 1842 masehi, putra dari Sultan Abdul Majid. Sejak kecil, ia mendapat pendidikan regular di istana, di bawah bimbingan orang-orang yang sangat terkenal di zamannya, baik secara ilmu maupun akhlak. Ia belajar bahasa Arab dan Persia, Sejarah, Sastra dan ilmu-ilmu Tasawuf. Ia juga piawai menulis syair dalam bahasa Turki.
Selain mempelajari ilmu-ilmu alamiah dan sosial, ia juga belajar secara serius bagaimana menggunakan senjata, sangat mahir memainkan pedang, juga menembak dengan pistol. Ia tak pernah melewatkan hari-harinya tanpa berolahraga.
Demikian pula ia sangat peduli dengan gejolak politik internasional, selalu mengikuti berita tentang posisi negerinya dari kabar-kabar tersebut dan memfokuskan perhatian secara teliti dan seksama.
Menurut situs Wikipedia, Abdul Hamid II menjadi sultan ke-34 Kesultanan Utsmani menggantikan saudaranya Sultan Murad V. Ia menjabat sebagai Sultan Utsmani pada tahun 1876 masehi, bertepatan dengan ketamakan negara-negara Barat untuk menguasai Kesultanan Utsmani yang sudah sampai pada titik puncak ketinggiannya.
Ketika Inggris mulai memperlihatkan keinginannya untuk menjadikan Syarif Hussein, Walikota Mekkah saat itu sebagai khalifah umat Islam, Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya yang ditulis ulang oleh Sejarawan Muhammad Harb mengatakan,
“Aku tidak mempunyai kekuatan atau potensi untuk menghadapi ketamakan negara-negara Eropa. Akan tetapi negara-negara itu masih takut menghadapi senjata kekhalifahan. Ketakutan mereka terhadap kekuatan kekhalifahan mendorong mereka bersekongkol untuk mengakhiri pemerintahan Utsmani.”
Sebagai orang yang bertanggung jawab memimpin dan melindungi wilayahnya, ia merasa berkewajiban menghadapi ketamakan-ketamakan tersebut serta mencari solusi yang paling tepat untuk menyelesaikannya. Karena itu, ia berupaya menjalin hubungan dengan kekuatan-kekuatan dunia yang muncul ketika itu, di mana dalam hal ini, Kesultanan Utsmani beberapa kali terlibat perang di antara mereka.
Dalam catatan hariannya, Sultan Abdul Hamid II juga mengatakan, perang secara langsung akan mengurangi kekuatan negara-negara imperialis dan menciptakan keseimbangan kekuatan dalam peta kekuatan dunia. Di sisi lain, ia berupaya mempersatukan kekuatan Islam yang tercerai-berai di berbagai belahan dunia dalam menghadapi ketamakan-ketamakan negara-negara Barat. Ia berpendapat bahwa Perang Salib akan terus berkobar meskipun dalam bentuk rahasia.
Melalui Islam sebagai agama, Sultan Abdul Hamid II berupaya mempersatukan berbagai elemen dan unsur yang beragam dalam pemerintahan ini, baik dari Turki, Arab, Kurdi dan lainnya dalam sebuah kekuatan agar mampu menghadapi serangan serangan pasukan Salib Barat itu. Ia berpendapat, umat Islam dalam lingkup Utsmani saja tidak cukup untuk menghadapinya. Utsmani harus melebarkan sayap dan pengaruh persatuan Islam terhadap seluruh umat Islam baik di Asia maupun lainnya.
Dalam hal ini, Sultan Abdul Hamid II mengatakan, “Tidak adanya saling pengertian dengan Iran merupakan sesuatu yang mengecewakan. Jika kita ingin mengambil jarak dan kesempatan bersama Inggris dan Rusia maka kita melihat adanya manfaat dan dampak positif bagi pendekatan Islam dalam masalah ini.”
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II dalam mempersatukan dunia Islam adalah dengan mengagendakan pembangunan rel kereta api. Jalur rel kereta api itu menghubungkan Damaskus dengan Hijaz (Arab Saudi, sekarang) sebagai piranti untuk menggulirkan pemikirannya mengenai persekutuan dan persatuan dunia Islam.
Pada tahun 1908, jalur kereta api yang menghubungkan Damaskus dengan Hijaz mulai dioperasikan. Rencananya, jalur ini akan dihubungkan sampai Mekkah dan Jeddah. Namun karena keterbatasan dana dan sering adanya gangguan dari para pemuka suku setempat, jalur ini hanya dihubungkan sampai dengan Madinah.
Keberadaan jalur ini sangat mempermudah kelancaran perjalanan jamaah haji dengan sarana transportasi modern saat itu. Berbeda dengan jalur di Timur Tengah lainnya seperti halnya jalur kereta api Baghdad, jalur kereta api Hijaz ini dibangun tanpa bantuan dari luar negeri khususnya dari kekaisaran Jerman yang menjadi sekutu Kesultanan Utsmani.
Dengan tercapainya proyek ini, Sultan Abdul Hamid II berharap, hubungan persaudaraan umat Islam semakin kuat. Di samping itu, hubungan dan persatuan umat Islam ini -setelah diperkuat dengan proyek ini- akan mampu menembus padang pasir yang tandus dan menghancurkan berhala-berhala pengkhianatan dan tipu muslihat Inggris.
Tegas terhadap Yahudi
Sultan Abdul Hamid II adalah sultan yang terkenal tegas terhadap orang-orang Yahudi. Ia pernah mengeluarkan instruksi untuk mengembalikan orang-orang Yahudi yang masuk ke wilayah Utsmani. Pada tahun 1901, ia berani mengusir salah satu dedengkot paling dikagumi dunia Yahudi, Theodore Hertzl dan seorang Rabbi Agung Yahudi saat berkunjung ke Islambul (Istanbul, sekarang) untuk meminta izin mendirikan permukiman di wilayah Al-Quds, Palestina.
Kisah itu kemudian diabadikan oleh seorang Kolonel Turki bernama Hisammuddin Arturk dalam Khafaya Ahdain yang terbit di Istanbul tahun 1957 masehi. Hingga sekarang kisah tersebut menjadi sangat masyhur dan selalu ada pada penulisan-penulisan artikel maupun seminar mengenai Sultan Abdul Hamid II.
“Theodore Hertzl dan Rabbi Agung Yahudi menghadap langsung kepada Sultan Abdul Hamid II untuk meminta izin pendirian Permukiman Yahudi secara terpisah di distrik Al-Quds. Tiada yang dilakukan Abdul Hamid II kecuali mengusir keduanya.”
Salah soerang sejarawan Turki, Nizhamuddin Tepe Denali mengomentari permasalahan ini. Menurut Denali, sikap tegas yang ditunjukkan Sultan Abdul Hamid II kala itu mendorong Theodore Hertzl dan bangsa Yahudi untuk mendukung orang-orang yang melawan sultan. Benar saja, setelah itu muncul gerakan-gerakan yang memfitnah Sultan Abdul Hamid II dengan sebutan Hamidian Absolutism, Freedom.
Sultan Abdul Hamid II terpaksa melepas baju kekhalifahannya dan sebagai pemimpin tertinggi Kesultanan Utsmani kepada saudaranya, Sultan Muhammad Rasyad atau dikenal dengan Sultan Muhammad V pada tanggal 27 April tahun 1909 masehi. Dengan keputusannya ini, ia beserta keluarganya harus menaiki kereta menuju tempat pengasingannya di Selonika, sebuah kota kecil di Yunani yang sebagian besar penduduknya adalah Yahudi.
Di tempat pengasingan di kota yang berkarakter Yahudi ini, Sultan Abdul Hamid II ditempatkan di sebuah istana yang dimiliki oleh seorang Yahudi bernama Alatini. Maksudnya adalah untuk semakin menghinakannya.
Pada tanggal 10 Februari tahun 1918 masehi Sultan Abdul Hamid bin Sultan Abdul Majid wafat dalam usia 76 tahun. Pemakaman jenazahnya diiringi oleh hampir seluruh rakyat Istanbul. (A/R06/P1)
Sumber : minanews.net
MY BIODATA
Full Name : Rihal Aziz Rafsanjani
Nickname : Rihal
Gender : Male
Place, Date of Birth : Depok,28December2001
Ages : 18 years old
Nationality : Indonesia
Height : 167 cm
Weight : 73 kg
Religions : Muslim
Social Media : ig:@rihalaziz
fb:Rihal Aziz Rafsanjani
Langganan:
Postingan (Atom)