Rihal Aziz Rafsanjani
Selasa, 21 Juli 2020
Runtuhnya Kekhalifahan Islam Terakhir
Awal abad ke-14 adalah masa kelahiran Kekhalifahan Usmani. Sebuah kerajaan yang berpusat di Turki modern dan pernah berkuasa hingga selatan Eropa, barat Asia, dan utara Afrika. Sementara pada awal abad ke-20 adalah masa keruntuhannya. Pangkal tragedi tak hanya bersumbu dari gerakan nasionalis Turki, namun juga serangan kekuatan-kekuatan baru maupun lama di sekitar kerajaan.
Merujuk ulasan Eugene Rogan dalam The Fall of the Ottomans: The Great War in the Middle East, 1914–1920 (2015), kekalahan pertama berasal dari Kerajaan Italia (Perang Italo-Turki) yang berlangsung pada 29 September 1911-18 Oktober 1912. Nama lainnya adalah Perang Tripolitanian, merujuk pada lokasi peperangan, yakni ibukota Libya modern dan sekitarnya (termasuk Laut Aegean dan Laut Merah).
Afrika utara adalah teritori Kekhalifahan Usmani di bagian paling barat. Italia mengklaim wilayah tersebut dengan dasar kekalahan Usmani dari perang melawan Rusia pada tahun 1877-1878. Libya kaya akan mineral dan hanya dijaga 4.000 pasukan Usmani. Mereka juga beranggapan bahwa masyarakat setempat lebih suka kepada pemerintahan Italia ketimbang rezim Usmani.
Perang pecah usai Italia mengabaikan ultimatum Usmani. Sejarawan mencatat perang ini menjadi tonggak pemakaian teknologi perang yang canggih, terutama pemakaian pesawat tempur oleh militer Italia. Pasukan Turki tak punya kesiapan untuk menghadapi serangan udara. Ditambah kelemahan-kelemahan lain, pada pertengahan Oktober 1912 pasukan Italia akhirnya memenangkan peperangan.
Biaya tempur yang dihabiskan Italia berkisar di angka 1,3 miliar lira—jumlah yang cukup fantastis. Tapi biaya itu bisa ditanggulangi dengan ekstraksi sumber daya alam Libya di masa-masa sesudahnya. Kerugian terbesar tetap di pihak Usmani. Ini terjadi lantaran Perang Italo-Turki, meski berskala kecil, efeknya turut memicu gerakan nasionalisme rakyat Balkan.
Semenanjung Balkan hingga awal abad ke-20 masih menjadi wilayah Eropa yang dikuasai Kekhalifahan Usmani. Setelah beberapa dekade dijajah, rakyat Balkan tiba-tiba makin bersemangat memberontak. Jika orang Italia saja bisa mengalahkan Usmani, maka mereka pun mampu melakukannya.
Sebagaimana ulasan Eyal Ginio dalam The Ottoman Culture of Defeat: The Balkan Wars and Their Aftermath (2016), Liga Balkan lahir pada 1921. Anggotanya adalah negara-negara yang memperoleh otonomi dari Kekhalifahan Usmani di awal abad ke-20. Didorong oleh sentimen etnis yang kian berkobar, anggota Liga Balkan yakni Montenegro, Yunani, Bulgaria, dan Serbia kemudian memberanikan diri untuk meraih kemerdekaan 100 persen dari Usmani.
Perang Balkan I berlangsung antara bulan Oktober 1912 hingga Meri 1913. Secara jumlah pasukan Usmani kalah sekitar 400.000 personil. Liga Balkan makin kuat dengan bantuan dari Rusia. Di akhir perang, prajurit Liga Balkan yang mengalami kematian, luka-luka, atau tertangkap berjumlah kurang lebih 100.000 orang. Sementara di pihak Usmani, yang mendapat bantuan dari Kerajaan Austria-Hungaria, mencapai 340.000 orang.
Kekalahan dari Perang Balkan menyebabkan Kekhalifahan Usmani kehilangan seluruh teritori Eropanya (kini ditandai dengan batas negara Turki di sebelah barat). Warga Usmani di wilayah Balkan kemudian melaksanakan eksodus ke pusat pemerintahan, menyebabkan total populasi Kerajaan Usmani bertambah kurang lebih 2,5 juta jiwa. Warga Turki modern mencatat kekalahan ini sebagai tragedi besar bertajuk “Balkan harbi faciasi".
Perang Dunia I Membuat Usmani Kian Terpuruk
Pada pertengahan tahun 1914 Perang Dunia I pecah. Kekhalifahan Usmani bergabung dengan Blok Sentral bersama Kekaisaran Jerman, Austria-Hungaria, Bulgaria, dan lain-lain. Mereka berhadapan dengan Blok Sekutu yakni Perancis, Imperium Britania Raya, Kekaisaran Rusia, Italia, Amerika Serikat, Liga Balkan, Kerajaan Hejaz (kini Arab Saudi), dan lain-lain.
Kekalahan penting yang mengubah strategi Usmani dari ofensif menjadi defensif adalah hasil dari Perang Sarikamish melawan Rusia. Kala itu Usmani belum belajar fakta penting: Rusia hampir mustahil dikalahkan jika pertempuran dilaksanakan pada musim dingin.
Kekuatan solid Rusia di perang yang berlangsung di Kota Sarikamish (kini Turki bagian Timur) pada tanggal 22 Desember 1914 hingga 17 Januari 1915 itu membuat pasukan Usmani dipaksa mundur. Kekalahan ini menandai berakhirnya kampanye militer kekalahan rezim Usmani di front Kaukasus.
Menurut Alan Whitehorn dalam The Armenian Genocide: The Essential Reference Guide (2015), pemimpin militer Kekhalifahan Enver Pasha secara terbuka menyalahkan orang-orang Armenia sebagai biang keladi kekalahan perang. Orang-orang Armenia dianggap terlalu berpihak pada Rusia. Whitehorn menyatakan, pengkambinghitaman ini menjadi awal mula lahirnya pembantaian sistematis 1,5 juta orang Armenia yang dilanjutkan oleh rezim Republik Turki.
Kekhalifahan Usmani makin goyah dengan terbitnya gerakan nasionalisme di kalangan masyarakat Arab. Seperti diungkap Eugene Rogan, Gerakan ini membuat suku-suku di Timur Tengah, yang kala itu masih di bawah kekuasaan Usmani, bersatu dan bersama-sama mengangkat senjata.
Rezim Usmani mencoba meredamnya dengan bantuan Kekaisaran Jerman pada akhir 1918. Namun pasukan Arab di bawah naungan Kerajaan Hejaz juga tak kalah solid karena didukung Perancis dan Imperium Britania Raya.
Kontak senjata antar kedua kubu pecah di kawasan kota tua Tel Megiddo, sehingga konfliknya disebut sebagai Perang Megiddo. Kota Tel Megiddo kini masuk ke teritori Israel dan pertempurannya turut berlangsung di sekitaran wilayah Suriah modern. Bagi Blok Sekutu, perang ini menjadi fase terakhir dalam kampanye milternya di wilayah Palestina dan Semenanjung Sinai.
Perang yang berlangsung pada tanggal 19-25 September 1918 itu berakhir dengan kemenangan untuk Blok Sekutu. Dengan demikian Kekhalifahan Usmani juga kehilangan banyak teritori penting di Timur Tengah. Di akhir Perang Dunia I, Timur Tengah dikuasai dua kekuatan besar: Imperium Britania Raya dan Perancis.
Keruntuhan Usmani
Sementara di luar Usmani menderita kekalahan demi kekalahan, di dalam negeri keruntuhan kekhalifahan didorong oleh makin besarnya kekuatan kaum nasionalis Turki. Usai kejadian pendudukan Konstantinopel dan Izmir, gerakan nasionalis Turki yang dipimpin Mustafa Kemal memenangkan perang kemerdekaan (1922-1922).
Kekhalifahan Usmani dibubarkan pada 1 November 1922. Khalifah terakhir, Mehmed VI, meninggalkan bekas daerah kekuasaannya 16 hari berselang. Majelis Agung Nasional Turki kemudian mendeklarasikan berdirinya Republik Turki pada 29 Oktober 1923 dengan Ankara sebagai ibukotanya.
Sejak itu, golongan elite pendukung kekhalifahan sudah tak punya kekuatan lagi. Upaya meyakinkan orang-orang Turki agar kekhalifahan kembali tegak direpresi dengan mudah oleh kubu nasionalis atas nama intervensi asing dan ancaman bagi keamanan nasional. Mustafa kemudian bergerak cepat untuk segera mengakhirinya
Pada 3 Maret 1924, tepat 96 tahun lalu, Majelis Agung Nasional secara resmi membubarkan Kekhalifahan Usmani, menjadikannya kekhalifahan umat Islam terakhir di muka bumi—setidaknya hingga detik ini.
Sumber : tirto.id
Muslim Bosnia Dibantai Serbia, Soeharto Turun Langsung Beri Dukungan Tanpa Alat Pengamanan
Banyaknya keraguan orang akan perubahan Presiden RI ke-2, HM Soeharto, dalam membela Islam, dapat ditepis dari peristiwa penting berikut ini. Bisa saja, peristiwa ini juga belum pernah dilakukan pemimpin Negara Islam lainnya. Dimana sejarah mencatat, ia datang dan memberi dukungan langsung kepada Muslim Bosnia yang tengah dibantai Serbia di tahun 1995.
Ketika itu, pembantaian etnis Muslim di Balkan telah memakan korban ribuan rakyat Bosnia. Dunia mencatatnya sebagai genosida paling mengerikan setelah Perang Dunia II usai. Sekitar 200 ribu umat Islam tewas dibantai dan 20 ribu wanita Muslim menjadi korban pemerkosaan, demikian menurut sebuah laporan.
Dalam buku ‘Pak Harto The Untold Stories’ (Gramedia Pustaka Utama, 2011), diceritakan, di tengah baku tembak antara Bosnia dan Serbia, Presiden Soeharto justru berkunjung ke Balkan.
Pak Harto nekat masuk Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina, setelah bertemu Presiden Kroasia Franjo Tudjman, di Zagreb pada tahun 1995.
Keputusan Pak Harto masuk di tengah wilayah yang tengah berkecamuk ini mengagetkan semua anggota rombongan. Apalagi baru mendapat kabar pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi ditembaki saat terbang ke Bosnia.
Rupanya, peristiwa penambakan itu tidak menyurutkan langkah pemimpin negara Non Blok yang disegani di Asia ini untuk tetap berangkat ke Bosnia.
Setelah menandatangani surat pernyataan risiko dari PBB, Pak Harto akhirnya diizinkan masuk Sarajevo. Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasuk ANTARA dan RRI.
Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin sangat cemas. Apalagi saat itu, Pak Harto menolak mengenakan helm baja Dan menolak menggunakan rompi antipeluru seberat 12 kg yang dikenakan oleh setiap anggota rombongan.
“Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja,” ujar Soeharto pada Sjafrie. (Kisah Soeharto tembus medan perang Sarajevo untuk bantu Bosnia, Merdeka.com, Senin, 19 Desember 2016)
Karena Pak Harto hanya menggunakan jas dan kopiah. Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. Tujuannya untuk membingungkan sniper yang pasti akan mengenali Presiden Soeharto di tengah rombongan.
“Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” beber
Sjafrie.
Sesampai di Istana, Pak Harto diterima Presiden Bosnia Herzegovina Alija Izetbegovic yang menyambutnya hangat. Dia benar-benar bahagia Soeharto tetap mau menemuinya walaupun harus melewati bahaya.
Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Termasuk menyampingkan keselamatan dirinya.
“Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok,” jawab Pak Harto.
“Tapi resikonya sangat besar, Pak,” kata Sjafrie lagi.
“Ya itu bisa kita kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka jadi tambah semangat,” kata Pak Harto.
Itulah kata-kata yang membekas di hati Sjafrie. Bahkan sampai puluhan tahun kemudian, dia masih ingat kata-kata Presiden Soeharto tersebut.
Di Sarajevo, Pak Harto meresmikan Masjid Istiqlal atau juga dikenal Masjid Soeharto yang dibangun dengan dana bantuan pengusaha Indonesia, yang juga adik Pak Harto, H. Probosutedjo.
Masjid seluas 2.500 meter persegi itu menelan pembiayaan sebanyak 2,7 juta dolar. Masjid yang terletak di Otoka, Sarajevo, itu menjadi penanda hubungan bilateral dan persahabatan antara Indonesia dan Bosnia Herzegovina.
Seorang warga Bosnia, Hasisic Inda, mengatakan, seluruh masyarakat muslim sangat berterima kasih kepada pemerintah Indonesia atas pembangunan masjid. Dengan begitu, masyarakat dapat shalat dan membaca Al-Quran di masjid. Kehadiran Masjid Istiqlal juga mengobati duka lama warga muslim Bosnia yang telah kehilangan ribuan masjid dan ratusan madrasah setelah dihancurkan tentara Serbia dalam perang etnis, 1992.
Rasa gembira serupa juga diungkapkan Hota Vezira. Ia mengaku sangat senang dengan pembangunan Masjid Istiqlal. Hota Vezira berharap, masyarakat Bosnia bisa datang ke masjid dari pada mabuk-mabukan di pinggir jalan. “Pembangunan (masjid) akhirnya terwujud juga setelah masyarakat menunggu selama empat tahun,” kata Hota. (Muslim Bosnia Membanjiri Masjid Sumbangan Indonesia, Liputan6, 27 Sep 2001)
Kisah perjalanan Soeharto ke medan perang Bosnia yang dikenal dengan perjalanan “kontrak mati” ini pada akhirnya dikenang sebagai sebuah perjalanan bersejarah, hingga lahirnya masjid yang menyatukan dua Negara berbeda.
Sumber : suarapalu.com
Jumat, 29 Mei 2020
Kartosoewirjo, Proklamator Negara Islam Indonesia
“Saat kemenangan telah tiba, operasi untuk membebaskan Mosul telah dimulai", kata Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi dalam pidato resminya seperti dirilis BBC. “Hari ini saya menyatakan dimulainya operasi heroik untuk membebaskan Anda dari Daesh," lanjutnya, menyebut nama lain untuk ISIS.
Mosul merupakan kota terbesar kedua di Irak yang direbut ISIS serta dijadikan basis pertahanan mereka. Dari Mosul pula pimpinan ISIS, Abu Bakr al-Baghdadi, mendeklarasikan kekhalifahan di wilayah yang mereka kuasai, baik di Irak maupun di Suriah.
Jika melihat ke masa lampau, sesungguhnya upaya mendirikan negara Islam pernah ada di Indonesia. Bedanya, ISIS punya tujuan kekhalifahan atau internasionalisme. Di Indonesia, lingkupnya "hanya" Indonesia, yang dipimpin Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Masa Pembentukan Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, begitu nama lengkap dari Kartosoewirjo alias SMK, adalah pelaku sejarah kontroversial. Tahun kelahirannya pun terdapat dua versi.
Irfan S. Awass dalam Menelusuri Perjalanan Jihad SM Kartosuwiryo, serta tulisan Kholid O. Santoso dalam Jejak-jejak Sang Pejuang Pemberontak menyebut bahwa Kartosoewiryo lahir pada tanggal 7 Februari 1905. Sementara Al Chaidar dalam bukunya Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam meyakini SMK lahir pada 7 Januari 1907.
Namun menurut A. Ruhimat dalam Biografi S.M. Kartosoewirjo, SMK lahir di tengah pencerahan di Hindia Belanda. Pada 1919, SMK mengikuti orangtuanya ke Bojonegoro. Saat perpindahan ke Bojonegoro inilah SMK bertemu dengan Notodiharjo, tokoh Muhammadiyah yang kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam pola pikirnya. Ini menjadi satu-satunya ajaran Islam yang diterima oleh SMK, selebihnya ia mengenyam pendidikan Belanda yang sekuler.
Setelah menamatkan sekolah di ELS (Europeesche Lagere School) pada 1923, SMK pindah ke Surabaya melanjutkan studinya di sekolah kedokteran kolonial di Surabaya, Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Di NIAS inilah SMK terjun ke dalam dunia pergerakan, yakni dengan bergabung dalam Jong Java pada 1923.
Pada 1925, timbul gejolak dalam tubuh Jong Java yang mengakibatkan perpecahan yaitu antara anggota yang mengutamakan cita-cita keislaman dan anggota yang mengutamakan nasionalis sekuler.
Mereka yang mengutamakan cita-cita keislaman kemudian keluar dari Jong Java. dan mendirikan organisasi baru, Jong Islamieten Bond (JIB), termasuk SMK yang kemudian menjadi ketua JIB cabang Surabaya.
Pada posisi itulah Kartosoewirjo berkenalan dengan ketua Partai Sjarikat Islam (PSI) yakni Hadji Oemar Said Tjokroaminoto dan kemudian pada September 1927 SMK ditawari menjadi sekretaris pribadinya.
Menurut Al Chaidar, semasa berguru pada Tjokroaminoto, SMK banyak belajar tentang Islam, metode organisasi, berkomunikasi dengan massa, dan membangun kekuatan umat. Bahkan menurut Ruhimat, pada masa itu pulalah sosok “Islam ideologis" SMK mulai terbentuk. Ia mulai mendambakan lahirnya negara Islam dan masyarakat Islam ideal di Indonesia.
Berkat pengaruh Tjokroaminoto, SMK menjadi kader Partai Serikat Islam (PSI) pada 1927, yang pada 1930 menjadi Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII). Karier politik SMK semakin jelas terlihat ketika kongres PSII 1936 saat ia terpilih sebagai Ketua Muda PSII. Karena sikap politiknya yang radikal dan tak kenal kompromi, ia pun diminta menulis brosur tentang hijrah.
Hijrah yang dimaksud oleh kongres saat itu tidak lebih dari istilah mengenai sikap partai terhadap pemerintah kolonial. Namun, seperti ditulis A. Ruhimat, SMK benar-benar menyamakan pengertiannya dengan hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.
Hijrah menurut SMK adalah hal positif dan bahwa jihad selalu ada dalam sebuah perjuangan. Ia membaginya dalam dua macam, yakni jihad kecil (asghar) untuk melindungi agama terhadap musuh-musuh luar, dan jihad besar (akbar) yang ditunjukan untuk memerangi musuh dalam diri manusia itu sendiri.
Kartosoewirjo dan Teks Proklamasi
Ketika Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dan membentuk BPUPKI, Kartosoewirjo melalui wakil-wakil Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Ahmad Sanusi mengusulkan ide-ide tentang pembentukan negara Indonesia merdeka yang memberlakukan syariat.
Atas ide Kartosoewirjo inilah maka pada Piagam Jakarta (Jakarta Charter) pada bagian pertama memuat tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", meskipun akhirnya kalimat tersebut dihilangkan.
Tidak hanya itu, pada 14 Agustus 1945, tak lama setelah Jepang di bom atom oleh Amerika, SMK meminta agar Kiai Joesoef Taudjiri segera memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Namun menurut Pinarti yang dikutip oleh Van Djik dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Kiai Joesoef menolak permintaan itu.
Al Chaidar malah menulis bahwa teks proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945 merupakan salinan dari teks yang disiapkan oleh SMK untuk Kiai Joesoef Taudjiri pada 14 Agustus 1945.
“... Hari-hari menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan (negara) Islam, bahkan pada 13-14 Agustus 1945 Kartosoewirjo telah menyiapkan naskah proklamasi yang diedarkannya kepada para elite pergerakan sehingga naskah Proklamasi yang ditulis oleh Soekarno hanya berdasarkan ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan oleh Kartosoewirjo, bukan pada konsep pembukaan UUD 1945 yang dibuat oleh BPUPKI dan PPKI," tulisnya.
Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII)
Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, secara resmi Indonesia membebaskan diri dari penjajahan dan menjadi negara yang menentukan nasibnya sendiri. Tapi Belanda tentu tak membiarkan upaya kemerdekaan ini.
Benar saja, Indonesia yang baru beberapa waktu berpesta dengan kemerdekaan harus kembali merasakan rongrongan kolonial melalui Agresi Militer Belanda I dan II. Adanya agresi ini membuat SMK semakin yakin untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.
Dalam catatan Horikoshi, sebagaimana dikutip Ruhimat, pada awal 1948 sekali lagi SMK meminta Kiai Joesoef Taudjiri memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Namun untuk kedua kalinya, sang kiai menolak. Akhirnya pada Agustus 1949, SMK menganggap perlu menerbitkan Maklumat NII No.7. Maklumat pada 12 Syawal 1368/7 Agustus 1949 itu berisi pernyataan pendirian NII.
Pada 7 Agustus 1949, melalui pertimbangan yang panjang, akhirnya SMK memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di desa Cisampah, kecamatan Ciawiligar, kabupaten Tasikmalaya.
Proklamasi Negara Islam Indonesia tersebut disertai dengan sepuluh penjelasan, termasuk penegasan bahwa Negara Islam Indonesia meliputi seluruh wilayah Indonesia dan seluruh bangsa Indonesia.
SMK juga telah mempersiapkan konsep-konsep bentuk dan sistem pemerintahan serta susunan Dewan Imamah NII. Dalam susunan tersebut, SMK mengangkat dirinya sebagai imam, panglima tertinggi, serta kuasa usaha. Sedangkan untuk wakil imam sekaligus sebagai komandan divisi adalah Karman.
Posisi menteri dalam negeri dan menteri penerangan masing-masing dipegang oleh Sanusi Partawidjaja dan Thaha Arsyad. Untuk menteri keuangan dipegang oleh Udin Kartasasmita, sedangkan menteri pertahanan dan kehakiman, masing-masing dipegang oleh Raden Oni dan Ghazali Thusi.
Akhir Perjuangan
Negara Islam Indonesia yang dibentuk Kartosoewirjo dengan organisasinya Darul Islam (DI) dan Tentaranya yang dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia (TII) dituduh oleh pemerintah Indonesia melakukan gerakan separatisme dan pengrusakan.
Pemberontakan yang dilakukan DI/TII di pulau Jawa dan Sumatera menimbulkan saling curiga antara pemerintah, ulama, dan masyarakat. Pemerintah menganggap para ulama berusaha melindungi DI/TII, begitu pula ada saling tuduh di antara ulama sendiri.
Untuk mengurangi rasa saling curiga itu, akhirnya dibentuklah gagasan Badan Musyawarah Alim Ulama yang kelak menjadi majelis ulama sekaligus menjadi cikal bakal Majelis Ulama Indonesia. Tujuan dari Badan Musyawarah Alim Ulama ini adalah untuk memonitor gerak DI/TII sekaligus membantu pemerintah dalam menumpas DI/TII.
Aksi untuk menumpas DI/TII semakin gencar dilakukan. Melalui konsep Pagar Betis yang diusulkan oleh Danrem Bogor, akhirnya DI/TII pun dapat dikalahkan, dan pada 4 Juni 1962 akhirnya Sang Panglima Tertinggi akhirnya tertangkap.
Pada 16 Agustus 1962, Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) yang mengadili Kartosoewirjo mengatakan bahwa gerakannya selama 13 tahun dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah pemberontakan dan hukuman mati pun dijatuhkan kepada SMK.
Pada 4 September 1962, Kartosoewirjo meminta bertemu dengan keluarganya, dan kemudian dibawa ke regu tembak keesokan harinya. Ia dibawa dengan sebuah kapal pendarat milik Angkatan Laut dari pelabuhan Tanjung Priok ke sebuah pulau sekitar Teluk Jakarta.
Pada pukul 5.50 WIB, hukuman mati dilaksanakan. Setelah meninggalnya SMK, juga sepeninggal pemimpin DI/TII Kahar Muzakkar di Sulawesi, semangat sebagian pengikut NII bisa jadi patah. Tapi kenyataannya hingga kini tetap ada yang bercita-cita menegakkan negara Islam, bahkan berbaiat kepada ISIS.
Tak seperti nyawa manusia, ideologi tak pernah bisa dibunuh.
Sumber : tirto.id
Jumat, 17 April 2020
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI): Sejarah, Tujuan, dan Anggota
Indonesia tergabung dalam berbagai organisasi internasional. Salah satunya organisasi internasional tertua yakni Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
OKI adalah organisasi internasional terbesar kedua setelah Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Bagaimana OKI awalnya berdiri dan bertahan hingga kini?
Berikut sejarah OKI dan perkembangannya seperti dikutip dari situs resmi OKI dan situs Kementerian Luar Negeri:
Berdirinya OKI
Pembentukan OKI awalnya dilatarbelakangi keprihatinan negara-negara Islam atas berbagai masalah yang diahadapi umat Islam.
Salah satu pemicunya, pembakaran Masjid Suci Al-Aqsa pada tanggal 21 Agustus 1969 oleh zionis Israel.
Para pemimpin dari 24 negara Islam pun mengadakan Konferensi di Rabat, Maroko, pada tanggal 25 September 1969.
Negara-negara itu menyepakati Deklarasi Rabat. Deklarasi itu berbunyi:
"Pemerintahan muslim akan berupaya mempromosikan di antara mereka, kerja sama yang erat, dan tolong menolong dalam hal ekonomi, ilmu pengetahuan, budaya, keyakinan, berdasarkan ajaran Islam yang abadi."
Tujuan dibentuknya OKI
Kemudian pada 1970, para menteri luar negeri berkumpul di Jeddah. Pertemuan yang kelak menjadi Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI itu menetapkan Jeddah sebagai markas OKI.
Piagam OKI baru diadopsi pada KTM OKI ketiga pada 1972. Piagam itu memuat tujuan dan prinsip OKI.
Tujuan OKI dibentuk antara lain:
-Meningkatkan solidaritas Islam di antara negara anggota
-Mengoordinasikan kerja sama antarnegara anggota
-Mendukung perdamaian dan keamanan internasional
-Melindungi tempat-tempat suci Islam
-Membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Anggota OKI
Di awal terbentuknya, OKI hanya beranggotakan 30 negara. Selama 40 tahun berdiri, jumlah anggotanya terus bertambah.
OKI saat ini beranggotakan 57 negara Islam atau berpenduduk mayoritas muslim di kawasan Asia dan Afrika.
Hingga 2020, anggotanya OKI yakni:
1. Azerbaijan
2. Yordania
3. Afganistan
4. Albania
5. Uni Emirat Arab
6. Indonesia
7. Uzbekistan
8. Uganda
9. Iran
10. Pakistan
11. Bahrain
12. Brunei Darussalam
13. Bangladesh
14. Benin
15. Burkina Faso
16. Tajikistan
17. Turki
18. Turkmenistan
19. Chad
20. Togo
21. Tunisia
22. Algeria
23. Djibouti
24. Arab Saudi
25. Senegal
26. Sudan
27. Suriah
28. Suriname
29. Sierra Leone
30. Somalia
31. Irak
32. Oman
33. Gabon
34. Gambia
35. Guyana
36. Guini
37. Guini Bissau
38. Palestina
39. Komoros
40. Kyrgyzstan
41. Qatar
42. Kazakhstan
43. Kamerun
44. Pantai Gading
45. Kuwait
46. Lebanon
47. Libya
48. Maladewa
49. Mali
50. Malaysia
51. Mesir
52. Maroko
53. Mauritania
54. Mozambik
55. Niger
56. Nigeria
57. Yaman
Sumber : KOMPAS.com
51 Tahun Peristiwa Pembakaran Masjid Al-Aqsha
Saat itu hari Kamis 21 Agustus 1969. Tiba-tiba asap hitam mengepul dari sisi tenggara Masjid Al-Aqsha, dan seteleh diperiksa lebih dekat terlihat kobaran api besar di salah satu sisinya. Muslim dan Kristen sama-sama bergegas ke masjid untuk memadamkan api, tetapi pasukan keamanan zionis mencegah masuknya mereka.
Hanna Hassan mengisahkan dalam tulisannya di middleeastmonitor.com. Truk-truk pemadam kebakaran dari kota-kota sekitar Tepi Barat Nablus, Ramallah, Al-Bireh, Bethlehem, Hebron, Jenin, dan Tulkarem tiba untuk memadamkan api. Tapi pasukan Zionis juga mencegah mereka mencapai tempat kejadian, dengan mengklaim bahwa adalah tanggung jawab Kotamadya Yerusalem untuk menangani masalah tersebut. Situasi ini membuat api menyala selama berjam-jam hingga membakar bagian jendela tepat di bawah kubah, sebelum api akhirnya padam.
Saat asap itu hilang, tingkat kerusakannya diketahui. Api telah menyapu beberapa bagian tertua masjid, terutama menghancurkan mimbar kayu dan gading berusia 900 tahun yang dihadiahkan oleh Salahuddin Al-Ayubi, serta panel mosaik di dinding dan langit-langit; banyak area di dalam masjid yang hangus terbakar.
Kemudian berita tentang kebakaran Masjid Al-Aqsha menyebar, demonstrasi rakyat Palestina terjadi di seluruh sudut kota. Pihak Zionis membalas dengan menutup semua titik akses ke masjid, sehingga shalat Jumat keesokan harinya tidak diadakan di kompleks untuk pertama kalinya.
Seorang tersangka segera diidentifikasi; Dennis Michael Rohan, seorang turis Kristen Australia, yang ditangkap pada 23 Agustus. Rohan tidak takut mengungkapkan motifnya untuk kejahatan; sebagai “utusan Tuhan”, dia ingin mempercepat kedatangan Yesus yang kedua Kristus yang, dalam pandangannya, hanya dapat dicapai dengan membiarkan orang-orang Yahudi membangun sebuah kuil di tempat Masjid Al-Aqsa, di mana diklaim bahwa Kuil Sulaiman awalnya berdiri.
Sementara Rohan dinyatakan gila dan dirawat di rumah sakit jiwa, banyak kalangan ragu tentang dia menjadi satu-satunya pelakunya. Pada tanggal 28 Agustus, 24 negara mayoritas Muslim mengajukan keluhan kepada Dewan Keamanan PBB.
PBB sempat menanggapi dengan mengutuk serangan itu dan meminta ‘Israel’ membatalkan semua pengaturan yang akan mengubah status Al-Quds. ‘Israel’ mengabaikan resolusi ini, seperti yang telah dilakukan Zionis terus mencaplok Al-Quds, bahkan hingga kini.
Kecurigaan bahwa ‘Israel’ terlibat aktif dalam perencanaan dan memfasilitasi upaya pembakaran tidak pernah dibantah. Banyak juga yang melihat normalisasi intimidasi Zionis, termasuk upaya ‘Israel’ untuk menghapuskan warisan Palestina di wilayah tersebut.
Sumber : Hidayatullah.com
Jumat, 10 April 2020
Sejarah Sultan Abdul Hamid II
Assalamu'alaikum Warahmatullahi wabarakatuh yup kali ini saya akan membahas sejarah Sultan Abdul Hamid II beliau merupakan salah satu khalifah yang berjaya di dunia Islam dan beliau pun dijuluki sebagai "Singa Terakhir Ummat Islam"
Mari kita langsung saja pembahasannya
“Aku (Sultan Abdul Hamid II) tidak menyalahkan siapapun (kemunduran Utsmani). Akan tetapi kami mengetahui bahwa Inggris, Perancis dan Rusia hingga Jerman dan Swiss, maksudnya negara-negara besar Eropa, memperoleh kepentingan dengan membagi-bagi wilayah pemerintahan Utsmani dan mencerai-beraikannya.”
Abdul Hamid II adalah salah satu nama sultan besar yang pernah dimiliki Kesultanan Utsmani. Jika di masa awal kejayaan Utsmani ada nama-nama seperti Sultan Muhammad Al-Fatih dan Sultan Sulaiman Al-Qanuni, maka di akhir kemunduran Kesultanan Utsmani, Abdul Hamid II menjadi sultan besar terakhir. Sebab, setelahnya tak ada lagi sultan yang disegani.
Abdul Hamid II lahir pada tanggal 21 September 1842 masehi, putra dari Sultan Abdul Majid. Sejak kecil, ia mendapat pendidikan regular di istana, di bawah bimbingan orang-orang yang sangat terkenal di zamannya, baik secara ilmu maupun akhlak. Ia belajar bahasa Arab dan Persia, Sejarah, Sastra dan ilmu-ilmu Tasawuf. Ia juga piawai menulis syair dalam bahasa Turki.
Selain mempelajari ilmu-ilmu alamiah dan sosial, ia juga belajar secara serius bagaimana menggunakan senjata, sangat mahir memainkan pedang, juga menembak dengan pistol. Ia tak pernah melewatkan hari-harinya tanpa berolahraga.
Demikian pula ia sangat peduli dengan gejolak politik internasional, selalu mengikuti berita tentang posisi negerinya dari kabar-kabar tersebut dan memfokuskan perhatian secara teliti dan seksama.
Menurut situs Wikipedia, Abdul Hamid II menjadi sultan ke-34 Kesultanan Utsmani menggantikan saudaranya Sultan Murad V. Ia menjabat sebagai Sultan Utsmani pada tahun 1876 masehi, bertepatan dengan ketamakan negara-negara Barat untuk menguasai Kesultanan Utsmani yang sudah sampai pada titik puncak ketinggiannya.
Ketika Inggris mulai memperlihatkan keinginannya untuk menjadikan Syarif Hussein, Walikota Mekkah saat itu sebagai khalifah umat Islam, Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya yang ditulis ulang oleh Sejarawan Muhammad Harb mengatakan,
“Aku tidak mempunyai kekuatan atau potensi untuk menghadapi ketamakan negara-negara Eropa. Akan tetapi negara-negara itu masih takut menghadapi senjata kekhalifahan. Ketakutan mereka terhadap kekuatan kekhalifahan mendorong mereka bersekongkol untuk mengakhiri pemerintahan Utsmani.”
Sebagai orang yang bertanggung jawab memimpin dan melindungi wilayahnya, ia merasa berkewajiban menghadapi ketamakan-ketamakan tersebut serta mencari solusi yang paling tepat untuk menyelesaikannya. Karena itu, ia berupaya menjalin hubungan dengan kekuatan-kekuatan dunia yang muncul ketika itu, di mana dalam hal ini, Kesultanan Utsmani beberapa kali terlibat perang di antara mereka.
Dalam catatan hariannya, Sultan Abdul Hamid II juga mengatakan, perang secara langsung akan mengurangi kekuatan negara-negara imperialis dan menciptakan keseimbangan kekuatan dalam peta kekuatan dunia. Di sisi lain, ia berupaya mempersatukan kekuatan Islam yang tercerai-berai di berbagai belahan dunia dalam menghadapi ketamakan-ketamakan negara-negara Barat. Ia berpendapat bahwa Perang Salib akan terus berkobar meskipun dalam bentuk rahasia.
Melalui Islam sebagai agama, Sultan Abdul Hamid II berupaya mempersatukan berbagai elemen dan unsur yang beragam dalam pemerintahan ini, baik dari Turki, Arab, Kurdi dan lainnya dalam sebuah kekuatan agar mampu menghadapi serangan serangan pasukan Salib Barat itu. Ia berpendapat, umat Islam dalam lingkup Utsmani saja tidak cukup untuk menghadapinya. Utsmani harus melebarkan sayap dan pengaruh persatuan Islam terhadap seluruh umat Islam baik di Asia maupun lainnya.
Dalam hal ini, Sultan Abdul Hamid II mengatakan, “Tidak adanya saling pengertian dengan Iran merupakan sesuatu yang mengecewakan. Jika kita ingin mengambil jarak dan kesempatan bersama Inggris dan Rusia maka kita melihat adanya manfaat dan dampak positif bagi pendekatan Islam dalam masalah ini.”
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II dalam mempersatukan dunia Islam adalah dengan mengagendakan pembangunan rel kereta api. Jalur rel kereta api itu menghubungkan Damaskus dengan Hijaz (Arab Saudi, sekarang) sebagai piranti untuk menggulirkan pemikirannya mengenai persekutuan dan persatuan dunia Islam.
Pada tahun 1908, jalur kereta api yang menghubungkan Damaskus dengan Hijaz mulai dioperasikan. Rencananya, jalur ini akan dihubungkan sampai Mekkah dan Jeddah. Namun karena keterbatasan dana dan sering adanya gangguan dari para pemuka suku setempat, jalur ini hanya dihubungkan sampai dengan Madinah.
Keberadaan jalur ini sangat mempermudah kelancaran perjalanan jamaah haji dengan sarana transportasi modern saat itu. Berbeda dengan jalur di Timur Tengah lainnya seperti halnya jalur kereta api Baghdad, jalur kereta api Hijaz ini dibangun tanpa bantuan dari luar negeri khususnya dari kekaisaran Jerman yang menjadi sekutu Kesultanan Utsmani.
Dengan tercapainya proyek ini, Sultan Abdul Hamid II berharap, hubungan persaudaraan umat Islam semakin kuat. Di samping itu, hubungan dan persatuan umat Islam ini -setelah diperkuat dengan proyek ini- akan mampu menembus padang pasir yang tandus dan menghancurkan berhala-berhala pengkhianatan dan tipu muslihat Inggris.
Tegas terhadap Yahudi
Sultan Abdul Hamid II adalah sultan yang terkenal tegas terhadap orang-orang Yahudi. Ia pernah mengeluarkan instruksi untuk mengembalikan orang-orang Yahudi yang masuk ke wilayah Utsmani. Pada tahun 1901, ia berani mengusir salah satu dedengkot paling dikagumi dunia Yahudi, Theodore Hertzl dan seorang Rabbi Agung Yahudi saat berkunjung ke Islambul (Istanbul, sekarang) untuk meminta izin mendirikan permukiman di wilayah Al-Quds, Palestina.
Kisah itu kemudian diabadikan oleh seorang Kolonel Turki bernama Hisammuddin Arturk dalam Khafaya Ahdain yang terbit di Istanbul tahun 1957 masehi. Hingga sekarang kisah tersebut menjadi sangat masyhur dan selalu ada pada penulisan-penulisan artikel maupun seminar mengenai Sultan Abdul Hamid II.
“Theodore Hertzl dan Rabbi Agung Yahudi menghadap langsung kepada Sultan Abdul Hamid II untuk meminta izin pendirian Permukiman Yahudi secara terpisah di distrik Al-Quds. Tiada yang dilakukan Abdul Hamid II kecuali mengusir keduanya.”
Salah soerang sejarawan Turki, Nizhamuddin Tepe Denali mengomentari permasalahan ini. Menurut Denali, sikap tegas yang ditunjukkan Sultan Abdul Hamid II kala itu mendorong Theodore Hertzl dan bangsa Yahudi untuk mendukung orang-orang yang melawan sultan. Benar saja, setelah itu muncul gerakan-gerakan yang memfitnah Sultan Abdul Hamid II dengan sebutan Hamidian Absolutism, Freedom.
Sultan Abdul Hamid II terpaksa melepas baju kekhalifahannya dan sebagai pemimpin tertinggi Kesultanan Utsmani kepada saudaranya, Sultan Muhammad Rasyad atau dikenal dengan Sultan Muhammad V pada tanggal 27 April tahun 1909 masehi. Dengan keputusannya ini, ia beserta keluarganya harus menaiki kereta menuju tempat pengasingannya di Selonika, sebuah kota kecil di Yunani yang sebagian besar penduduknya adalah Yahudi.
Di tempat pengasingan di kota yang berkarakter Yahudi ini, Sultan Abdul Hamid II ditempatkan di sebuah istana yang dimiliki oleh seorang Yahudi bernama Alatini. Maksudnya adalah untuk semakin menghinakannya.
Pada tanggal 10 Februari tahun 1918 masehi Sultan Abdul Hamid bin Sultan Abdul Majid wafat dalam usia 76 tahun. Pemakaman jenazahnya diiringi oleh hampir seluruh rakyat Istanbul. (A/R06/P1)
Sumber : minanews.net
MY BIODATA
Full Name : Rihal Aziz Rafsanjani
Nickname : Rihal
Gender : Male
Place, Date of Birth : Depok,28December2001
Ages : 18 years old
Nationality : Indonesia
Height : 167 cm
Weight : 73 kg
Religions : Muslim
Social Media : ig:@rihalaziz
fb:Rihal Aziz Rafsanjani
Langganan:
Postingan (Atom)