Selasa, 21 Juli 2020

Runtuhnya Kekhalifahan Islam Terakhir


     Awal abad ke-14 adalah masa kelahiran Kekhalifahan Usmani. Sebuah kerajaan yang berpusat di Turki modern dan pernah berkuasa hingga selatan Eropa, barat Asia, dan utara Afrika. Sementara pada awal abad ke-20 adalah masa keruntuhannya. Pangkal tragedi tak hanya bersumbu dari gerakan nasionalis Turki, namun juga serangan kekuatan-kekuatan baru maupun lama di sekitar kerajaan.

     Merujuk ulasan Eugene Rogan dalam The Fall of the Ottomans: The Great War in the Middle East, 1914–1920 (2015), kekalahan pertama berasal dari Kerajaan Italia (Perang Italo-Turki) yang berlangsung pada 29 September 1911-18 Oktober 1912. Nama lainnya adalah Perang Tripolitanian, merujuk pada lokasi peperangan, yakni ibukota Libya modern dan sekitarnya (termasuk Laut Aegean dan Laut Merah).

     Afrika utara adalah teritori Kekhalifahan Usmani di bagian paling barat. Italia mengklaim wilayah tersebut dengan dasar kekalahan Usmani dari perang melawan Rusia pada tahun 1877-1878. Libya kaya akan mineral dan hanya dijaga 4.000 pasukan Usmani. Mereka juga beranggapan bahwa masyarakat setempat lebih suka kepada pemerintahan Italia ketimbang rezim Usmani.

     Perang pecah usai Italia mengabaikan ultimatum Usmani. Sejarawan mencatat perang ini menjadi tonggak pemakaian teknologi perang yang canggih, terutama pemakaian pesawat tempur oleh militer Italia. Pasukan Turki tak punya kesiapan untuk menghadapi serangan udara. Ditambah kelemahan-kelemahan lain, pada pertengahan Oktober 1912 pasukan Italia akhirnya memenangkan peperangan.

     Biaya tempur yang dihabiskan Italia berkisar di angka 1,3 miliar lira—jumlah yang cukup fantastis. Tapi biaya itu bisa ditanggulangi dengan ekstraksi sumber daya alam Libya di masa-masa sesudahnya. Kerugian terbesar tetap di pihak Usmani. Ini terjadi lantaran Perang Italo-Turki, meski berskala kecil, efeknya turut memicu gerakan nasionalisme rakyat Balkan.

     Semenanjung Balkan hingga awal abad ke-20 masih menjadi wilayah Eropa yang dikuasai Kekhalifahan Usmani. Setelah beberapa dekade dijajah, rakyat Balkan tiba-tiba makin bersemangat memberontak. Jika orang Italia saja bisa mengalahkan Usmani, maka mereka pun mampu melakukannya.

     Sebagaimana ulasan Eyal Ginio dalam The Ottoman Culture of Defeat: The Balkan Wars and Their Aftermath (2016), Liga Balkan lahir pada 1921. Anggotanya adalah negara-negara yang memperoleh otonomi dari Kekhalifahan Usmani di awal abad ke-20. Didorong oleh sentimen etnis yang kian berkobar, anggota Liga Balkan yakni Montenegro, Yunani, Bulgaria, dan Serbia kemudian memberanikan diri untuk meraih kemerdekaan 100 persen dari Usmani.

     Perang Balkan I berlangsung antara bulan Oktober 1912 hingga Meri 1913. Secara jumlah pasukan Usmani kalah sekitar 400.000 personil. Liga Balkan makin kuat dengan bantuan dari Rusia. Di akhir perang, prajurit Liga Balkan yang mengalami kematian, luka-luka, atau tertangkap berjumlah kurang lebih 100.000 orang. Sementara di pihak Usmani, yang mendapat bantuan dari Kerajaan Austria-Hungaria, mencapai 340.000 orang.

     Kekalahan dari Perang Balkan menyebabkan Kekhalifahan Usmani kehilangan seluruh teritori Eropanya (kini ditandai dengan batas negara Turki di sebelah barat). Warga Usmani di wilayah Balkan kemudian melaksanakan eksodus ke pusat pemerintahan, menyebabkan total populasi Kerajaan Usmani bertambah kurang lebih 2,5 juta jiwa. Warga Turki modern mencatat kekalahan ini sebagai tragedi besar bertajuk “Balkan harbi faciasi".

Perang Dunia I Membuat Usmani Kian Terpuruk

     Pada pertengahan tahun 1914 Perang Dunia I pecah. Kekhalifahan Usmani bergabung dengan Blok Sentral bersama Kekaisaran Jerman, Austria-Hungaria, Bulgaria, dan lain-lain. Mereka berhadapan dengan Blok Sekutu yakni Perancis, Imperium Britania Raya, Kekaisaran Rusia, Italia, Amerika Serikat, Liga Balkan, Kerajaan Hejaz (kini Arab Saudi), dan lain-lain.

     Kekalahan penting yang mengubah strategi Usmani dari ofensif menjadi defensif adalah hasil dari Perang Sarikamish melawan Rusia. Kala itu Usmani belum belajar fakta penting: Rusia hampir mustahil dikalahkan jika pertempuran dilaksanakan pada musim dingin.

     Kekuatan solid Rusia di perang yang berlangsung di Kota Sarikamish (kini Turki bagian Timur) pada tanggal 22 Desember 1914 hingga 17 Januari 1915 itu membuat pasukan Usmani dipaksa mundur. Kekalahan ini menandai berakhirnya kampanye militer kekalahan rezim Usmani di front Kaukasus.

     Menurut Alan Whitehorn dalam The Armenian Genocide: The Essential Reference Guide (2015), pemimpin militer Kekhalifahan Enver Pasha secara terbuka menyalahkan orang-orang Armenia sebagai biang keladi kekalahan perang. Orang-orang Armenia dianggap terlalu berpihak pada Rusia. Whitehorn menyatakan, pengkambinghitaman ini menjadi awal mula lahirnya pembantaian sistematis 1,5 juta orang Armenia yang dilanjutkan oleh rezim Republik Turki.

     Kekhalifahan Usmani makin goyah dengan terbitnya gerakan nasionalisme di kalangan masyarakat Arab. Seperti diungkap Eugene Rogan, Gerakan ini membuat suku-suku di Timur Tengah, yang kala itu masih di bawah kekuasaan Usmani, bersatu dan bersama-sama mengangkat senjata.

     Rezim Usmani mencoba meredamnya dengan bantuan Kekaisaran Jerman pada akhir 1918. Namun pasukan Arab di bawah naungan Kerajaan Hejaz juga tak kalah solid karena didukung Perancis dan Imperium Britania Raya.

     Kontak senjata antar kedua kubu pecah di kawasan kota tua Tel Megiddo, sehingga konfliknya disebut sebagai Perang Megiddo. Kota Tel Megiddo kini masuk ke teritori Israel dan pertempurannya turut berlangsung di sekitaran wilayah Suriah modern. Bagi Blok Sekutu, perang ini menjadi fase terakhir dalam kampanye milternya di wilayah Palestina dan Semenanjung Sinai.

     Perang yang berlangsung pada tanggal 19-25 September 1918 itu berakhir dengan kemenangan untuk Blok Sekutu. Dengan demikian Kekhalifahan Usmani juga kehilangan banyak teritori penting di Timur Tengah. Di akhir Perang Dunia I, Timur Tengah dikuasai dua kekuatan besar: Imperium Britania Raya dan Perancis.


Keruntuhan Usmani

     Sementara di luar Usmani menderita kekalahan demi kekalahan, di dalam negeri keruntuhan kekhalifahan didorong oleh makin besarnya kekuatan kaum nasionalis Turki. Usai kejadian pendudukan Konstantinopel dan Izmir, gerakan nasionalis Turki yang dipimpin Mustafa Kemal memenangkan perang kemerdekaan (1922-1922).

     Kekhalifahan Usmani dibubarkan pada 1 November 1922. Khalifah terakhir, Mehmed VI, meninggalkan bekas daerah kekuasaannya 16 hari berselang. Majelis Agung Nasional Turki kemudian mendeklarasikan berdirinya Republik Turki pada 29 Oktober 1923 dengan Ankara sebagai ibukotanya.

     Sejak itu, golongan elite pendukung kekhalifahan sudah tak punya kekuatan lagi. Upaya meyakinkan orang-orang Turki agar kekhalifahan kembali tegak direpresi dengan mudah oleh kubu nasionalis atas nama intervensi asing dan ancaman bagi keamanan nasional. Mustafa kemudian bergerak cepat untuk segera mengakhirinya

     Pada 3 Maret 1924, tepat 96 tahun lalu, Majelis Agung Nasional secara resmi membubarkan Kekhalifahan Usmani, menjadikannya kekhalifahan umat Islam terakhir di muka bumi—setidaknya hingga detik ini.

Sumber : tirto.id

Muslim Bosnia Dibantai Serbia, Soeharto Turun Langsung Beri Dukungan Tanpa Alat Pengamanan



     Banyaknya keraguan orang akan perubahan Presiden RI ke-2, HM Soeharto, dalam membela Islam, dapat ditepis dari peristiwa penting berikut ini. Bisa saja, peristiwa ini juga belum pernah dilakukan pemimpin Negara Islam lainnya. Dimana sejarah mencatat, ia datang dan memberi dukungan langsung kepada Muslim Bosnia yang tengah dibantai Serbia di tahun 1995.

     Ketika itu, pembantaian etnis Muslim di Balkan telah memakan korban ribuan rakyat Bosnia. Dunia mencatatnya sebagai genosida paling mengerikan setelah Perang Dunia II usai. Sekitar 200 ribu umat Islam tewas dibantai dan 20 ribu wanita Muslim menjadi korban pemerkosaan, demikian menurut sebuah laporan.

     Dalam buku ‘Pak Harto The Untold Stories’ (Gramedia Pustaka Utama, 2011), diceritakan, di tengah baku tembak antara Bosnia dan Serbia, Presiden Soeharto justru berkunjung ke Balkan.

     Pak Harto nekat masuk Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina, setelah bertemu Presiden Kroasia Franjo Tudjman, di Zagreb pada tahun 1995.

     Keputusan Pak Harto masuk di tengah wilayah yang tengah berkecamuk ini mengagetkan semua anggota rombongan. Apalagi baru mendapat kabar pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi ditembaki saat terbang ke Bosnia.

     Rupanya, peristiwa penambakan itu tidak menyurutkan langkah pemimpin negara Non Blok yang disegani di Asia ini untuk tetap berangkat ke Bosnia.

     Setelah menandatangani surat pernyataan risiko dari PBB, Pak Harto akhirnya diizinkan masuk Sarajevo. Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasuk ANTARA dan RRI.

     Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin sangat cemas. Apalagi saat itu, Pak Harto menolak mengenakan helm baja Dan menolak menggunakan rompi antipeluru seberat 12 kg yang dikenakan oleh setiap anggota rombongan.

     “Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja,” ujar Soeharto pada Sjafrie. (Kisah Soeharto tembus medan perang Sarajevo untuk bantu Bosnia, Merdeka.com, Senin, 19 Desember 2016)

     Karena Pak Harto hanya menggunakan jas dan kopiah. Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. Tujuannya untuk membingungkan sniper yang pasti akan mengenali Presiden Soeharto di tengah rombongan.

     “Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” beber
Sjafrie.

     Sesampai di Istana, Pak Harto diterima Presiden Bosnia Herzegovina Alija Izetbegovic yang menyambutnya hangat. Dia benar-benar bahagia Soeharto tetap mau menemuinya walaupun harus melewati bahaya.

     Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Termasuk menyampingkan keselamatan dirinya.

     “Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok,” jawab Pak Harto.

     “Tapi resikonya sangat besar, Pak,” kata Sjafrie lagi.

     “Ya itu bisa kita kendalikan. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik, mereka jadi tambah semangat,” kata Pak Harto.

     Itulah kata-kata yang membekas di hati Sjafrie. Bahkan sampai puluhan tahun kemudian, dia masih ingat kata-kata Presiden Soeharto tersebut.

     Di Sarajevo, Pak Harto meresmikan Masjid Istiqlal atau juga dikenal Masjid Soeharto yang dibangun dengan dana bantuan pengusaha Indonesia, yang juga adik Pak Harto, H. Probosutedjo.


     Masjid seluas 2.500 meter persegi itu menelan pembiayaan sebanyak 2,7 juta dolar. Masjid yang terletak di Otoka, Sarajevo, itu menjadi penanda hubungan bilateral dan persahabatan antara Indonesia dan Bosnia Herzegovina.

     Seorang warga Bosnia, Hasisic Inda, mengatakan, seluruh masyarakat muslim sangat berterima kasih kepada pemerintah Indonesia atas pembangunan masjid. Dengan begitu, masyarakat dapat shalat dan membaca Al-Quran di masjid. Kehadiran Masjid Istiqlal juga mengobati duka lama warga muslim Bosnia yang telah kehilangan ribuan masjid dan ratusan madrasah setelah dihancurkan tentara Serbia dalam perang etnis, 1992.

     Rasa gembira serupa juga diungkapkan Hota Vezira. Ia mengaku sangat senang dengan pembangunan Masjid Istiqlal. Hota Vezira berharap, masyarakat Bosnia bisa datang ke masjid dari pada mabuk-mabukan di pinggir jalan. “Pembangunan (masjid) akhirnya terwujud juga setelah masyarakat menunggu selama empat tahun,” kata Hota. (Muslim Bosnia Membanjiri Masjid Sumbangan Indonesia, Liputan6, 27 Sep 2001)

     Kisah perjalanan Soeharto ke medan perang Bosnia yang dikenal dengan perjalanan “kontrak mati” ini pada akhirnya dikenang sebagai sebuah perjalanan bersejarah, hingga lahirnya masjid yang menyatukan dua Negara berbeda.

Sumber : suarapalu.com